Selasa, 29 Mei 2012

no free sms

Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan interkoneksi SMS berbasis biaya mulai diberlakukan pada 1 Juni nanti.
Dengan skema ini, SMS yang sebelumnya berdasarkan Sender Keep All (SKA) tidak berlaku. Metode SKA biasanya dijadikan ajang promosi operator selular untuk memberikan SMS gratis ke operator lain.
Dengan demikian, operator pengirim pesan memperoleh pendapatan, sementara operator penerima mendapatkan trafik.
Perubahan skema menjadi berbasis biaya (costbased) ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Kominfo No 08/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Interkoneksi yang menyebutkan penyelenggaraan interkoneksi harus berdasarkan biaya.
Selama ini interkoneksi layanan pesan pendek atau SMS dilakukan dengan basis SKA dengan pertimbangan trafik SMS antar penyelenggara akan berimbang karena adanya proses balas-berbalas pengiriman SMS.
»Namun dalam perkembangannya terjadi ketidakseimbangan trafik sehingga penyelenggara yang 'kebanjiran' SMS dari penyelenggara lain merasa dirugikan,” kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Gatot S. Dewa Broto dalam siaran pers, Sabtu, 26 Mei 2012.
Selama ini penerapan skema SKA kerap disalahgunakan, seperti munculnya SMS Broadcast, yaitu penyebaran SMS ke banyak pengguna telepon seluler dan SMS spamming atau SMS yang tidak diinginkan. Di sisi lain, sebagian masyarakat tidak menyadari bahwa tarif murah dan gratis disertai dengan syarat dan atau ketentuan tertentu.
Dalam penjelasannya, Gatot mengatakan biaya interkoneksi SMS mengikuti hasil perhitungan biaya interkoneksi tahun 2010, yaitu sebesar Rp 23 per SMS. Sedangkan tarif pungut yang menjadi beban konsumen adalah biaya interkoneksi ditambah beberapa komponen biaya lainnya.
Perubahan ini, kata Gatot untuk menciptakan iklim yang sehat bagi industri telekomunikasi, terutama bagi jaringan yang digunakan untuk menyalurkan trafik SMS. Kebijakan ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan investasi dan pembangunan infrastruktur jaringan baru.
Menurut Gatot kebijakan ini tidak menutup kompetisi bagi operator untuk memberikan layanan SMS dengan tarif murah. Namun, persaingan tersebut harus tetap berbasis biaya.
Sebenarnya, pada April 2010 pemerintah telah melaranga layanan SMS gratis. Namun larangan tersebut tidak efektif karena dasar hukum yang dinilai lemah. Sekarang, tidak ada pilihan bagi operator. »Target waktu implementasi tidak dapat ditawar lagi,” kata Gatot.
Sejak Desember 2011 lalu, pemerintah telah telah mengkaji berbagai komponen untuk berjalannya kebijakan SMS berbasis biaya ini, baik itu persiapan modifikasi storage, server, sistem billing , pengalokasikan dana untuk belanja modal (capex), dan sistem interkoneksi masing-masing operator.


IQBAL MUHTAROM ( TEMPO.CO )

Sabtu, 14 April 2012

Cara Pasang Modbo 5.0

Modbo 5.0 adalah modif board PS2 yang bisa membuat booting PS2 langsung dari USB tanpa menggunakan MemoryCard.
Berikut adalah cara pasang modbo 5.0 di board PS2 menurut versi boardnya :









Selasa, 09 Agustus 2011

tv OL

Mw nonton TV , klik disini

Selasa, 19 Juli 2011

XL

Kebijakan Hard Cluster XL Rugikan Pelanggan


Penerapan kebijakan hard cluster XL dalam pendistribusian pulsa mengakibatkan pedagang multichip atau server pulsa mengalami kesulitan mendapatkan stok. Hard cluster XL berlaku sejak April 2011. Dengan sistim cluster , area penjualan XL sangat ketat, kartu yang diisi harus berada satu area dengan kartu dompul (dompet pulsa). Satu cluster terdiri dari 2-4 kecamatan.

Jika pada awalnya pedagang pulsa bebas menjual dan mengisi pulsa ke mana saja, maka dengan adanya sistem hard cluster, wilayah cakupan penjualan jadi semakin sempit. Stok semakin dibatasi
Menurut Ketua Umum Asosiasi Server Pulsa Indonesia Dwi Lesmana Y, dalam penjelasannya Rabu (22/6/2011) kebijakan hard cluster sangat merugikan pengusaha server.

Kebijakan tersebut menurut Dwi berakibat menurunnya pendapatan para pengusaha server, ”Ini memangkas usaha kami. Anggota yang tergabung dalam Aspindo sebanyak 1000 pengusaha. Adapun yang mengoptimalkan usaha server sekitar 10 ribu pengusaha,” ugkap Dwi Lesmana .

Sebagaimana diketahui 60-70 persen peredaran pulsa di Indonesia dikuasai oleh pulsa elektronik. Besarnya potensi usaha pulsa elektronik ini ternyata belum ada tata niaga dan payung hukum yang mengaturnya. Hal ini yang memicu multipersepsi dari pihak industri.

“Pihak XL membuat aturan yang tidak memihak pada karakteristik bisnis pulsa elektronik,” tambah Andry Desuardi, Sekretaris Jendral Aspindo.

Maka dari itu pihak Aspindo melalui siaran pers-nya menyatakan sikap, menolak pelaksanaan clusterisasi yang tidak adil. Serta menuntut penundaan pelaksanaan hard cluster sampai semua pihak siap.
Tuntutan lainnya adalah mendesak kepada pihak XL untuk memperluas area penilaian recharge inner cluster menjadi propinsi, memperbesar toleransi inner cluster menjadi 50%.
Pihak Aspindo juga menuntut penghapusan pembatasan alokasi server, dan meminta kepada pihak XL untuk menjamin pemberian stok non H2H (home to home) kepada server non dealer.

Problem tersebut, menurut Dwi sudah dibicarakan beberapa kali dengan pihak XL, namun belum ada titik temu. Hingga pada akhirnya muncul berbagai demo dan aksi keprihatinan di berbagai daerah. Di Malang, Jawa Timur, terjadi penolakan dan aksi spontan yang dilakukan komunitas pedagang pulsa dengan menginstruksikan penggantian chip XL dengan operator lain karena langkanya stok. Daerah-daerah lain seperti Sidoarjo, Jabotabek dan beberapa kota lain pun mengikuti langkah tersebut.

Beberapa pengusaha server telah melakukan boikot dengan cara memasang iklan di surat kabar yang intinya stok XL lebih susah diperoleh karena langka. Malahan beberapa daerah lainnya telah melakukan demo pembakaran kartu perdana XL yang dilakukan di Banten, Jabodetabek, Malang dan Sidoarjo.

Demo tersebut, lanjut Andry, tidak akan berhenti di situ, pihak Aspindo sudah memutuskan dalam Rapim akan memboikot dan melakukan pengalihan 3 juta pelanggan XL ke operator lain dalam jangka 60 hari. Atau sampai tuntutannya dipenuhi.

xl cluster

Sistem Cluster XL Mematikan Jalur Distribusi Voucher-Pulsa XL sendiri?


Dengan alasan memudahkan memonitor peredaran kartu perdana dan ketersediaan stok pulsa samapi pelosok, XL menetapkan sistem cluster. Sistem ini membagi distribusi voucher pulsa berdasarkan wilayah tertentu.

Melalui sistem ini, XL melarang keras transaksi antar cluster dengan cara mencegah penjualan pulsa dari dealer resmi di wilayah tertentu ke subdealer atau agen yang menjual pulsa di daerah lain.

Yang jelas, larangan transaksi isi ulang pulsa antar cluster akan mempersulit gerak bisnis server pulsa elektrik. Soalnya chip Dompet Pulsa diblokir jika melakukan transaksi antar cluster.

Sementara Asosiasi Server Pulsa Indonesia (Aspindo), dituding sebagai penyebab tertundanya pengiriman pulsa ke pelanggan. “Sebenarnya, subdealer XL juga melewati dua kali proses server dan engine top up yang sama. Mungkin, saat itu, server XL sedang mengalami gangguan,” kata Dwi Lesmana, Ketua Umum Aspindo balik menuduh.

Malah langkah XL ini memojokkan para server pulsa yang notabene telah menyumbang penjualan terbesar. Larangan cluster mematikan jalur distribusi XL sendiri.








XL Kecewakan Para Pengecer Pulsa

Minggu ini Asosiasi Server Pulsa Indonesia (ASPINDO) protes ke XL, karena kebijakan clusterisasi. Mereka akan melakukan boikot, merekomendasi pelanggan untuk pindah operator bahkan berencana membakar kartu perdana XL. Lebih lanjut mereka meminta kepada regulator untuk membantu menyelesaikan dispute ini. Apa sih clusterisasi dan bagaimana dampaknya? 
Sejak beberapa tahun terakhir, beberapa operator berupaya menerapkan konsep clusterisasi. Mereka adalah Telkomsel, Indosat, XL dan Flexi. Telkomsel merupakan yang pertama menerapkan konsep ini. Namun konsep clusterisasi Telkomsel tidak terlalu ketat, demikian juga dengan Indosat dan Flexi. Sedangkan XL menerapkan konsep ini sejak awal 2010, dan dari waktu ke waktu konsepnya semakin ketat.
Program clusterisasi adalah program pembatasan wilayah distribusi produk, khususnya pulsa isi ulang baik voucher fisik maupun elektrik. Pulsa isi ulang yang sebenarnya bisa di distribusi secara bebas di seluruh wilayah Indonesia, kini dibatasi distribusinya. XL menetapkan wilayah-wilayah yang mereka sebut cluster. Setiap cluster meliputi 2 sampai 5 kecamatan. Pada setiap cluster ditetapkan 1 atau 2 Dealer. Pengecer di area tersebut harus ambil barang dari Dealer yang ditunjuk. Dealer dan pengecer tidak boleh menjual di cluster lain. Bahkan ketika pengecer sedang berada di lokasi cluster lain, mereka tidak bisa menjual pulsa elektrik kepada pelanggan, karena sistemnya di blok oleh XL.
Sebetulnya konsep clusterisasi tidak hanya ada di industri seluler, konsep ini sudah umum diterapkan di industri ritel lainnya. Lantas, kenapa hal ini menjadi heboh? Perlu diketahui, distribusi pulsa elektrik di Indonesia sangat unik, karena munculnya para pengusaha server pulsa yang jumlahnya mencapai ribuan.
Server pulsa isi ulang merupakan sistem komputer yang diisi aplikasi khusus untuk dapat digunakan oleh para pengecer berjualan pulsa elektrik semua operator, dengan jangkauan nasional. Investasi untuk sistem ini bervariasi mulai dari 30 juta sampai ratusan bahkan miliaran, namun sebagian besar berkisar 75 jutaan. Pada umumnya margin yang dipatok pengusaha server pulsa sangat kecil, hanya berkisar Rp. 250 per transaksi. Oleh karenanya pengusaha server selalu mengejar volume dengan jangkauan yang seluas-luasnya. Jika sistem dibatasi hanya satu cluster, volume transaksi menjadi sedikit, dan akhirnya merugi. Apalagi sudah bertahun-tahun mereka membangun jaringan downline nasional, yang tentunya membutuhkan usaha dan biaya yang besar. Jika clusterisasi ketat diberlakukan juga oleh Telkomsel dan Indosat, yang mana tiga operator besar ini memegang porsi lebih dari 75 persen, saya perkirakan bisnis server pulsa bakal mendadak berhenti. Karena alasan inilah, wajar jika mereka menolak kebijakan clusterisasi.
Siapakah sebetulnya yang diuntungkan oleh kebijakan ini? Pertama dan paling utama adalah Dealer. Margin mereka tergaransi dan bisnisnya bakal sustain, karena tidak ada lagi persaingan sesama Dealer. Yang lebih penting lagi, mereka terproteksi dari serangan pemain kecil yang sering merepotkan. Lalu apa untungnya bagi operator? Pertama, jika Dealer merasa nyaman diharapkan muncul loyalitas dan komitmen terhadap tuntutan operator, dengan demikian target operator semakin aman. Kedua, operator dapat mengetahui secara pasti seberapa besar permintaan di setiap area dan seberapa mampu mereka dapat mendistribusikan barang sesuai jumlah yang dibutuhkan, tidak lebih dan tidak kurang. Apakah pengecer dapat manfaat dari kebijakan ini? Tidak!. Pengecer dan pengusaha server pulsa merupakan pihak yang paling menderita. Jika sebelumnya mereka memperoleh supply dari Dealer mana pun yang mereka suka, sekarang mereka dipaksa mengambil barang dari Dealer yang sudah ditentukan. Jika sebelumnya mereka dapat harga bagus, kini tidak lagi. Lebih celaka lagi jika ternyata Dealer yang ditunjuk tidak mampu memberikan pelayanan yang baik. Khusus untuk pengusaha server, nasib mereka lebih buruk lagi. Karena pasar mereka dibatasi hanya 2 kecamatan sementara investasi server selalu mempertimbangkan cakupan pasar nasional. Bagaimana dengan pelanggan, apakah mereka diuntungkan? Tidak. Bahkan bisa saja mereka dirugikan, karena pengecer akan menjual pulsa lebih mahal. Fakta ini sudah terjadi, kita lihat di lapangan pelanggan XL pada umumnya membeli pulsa nominal 10 pada harga Rp. 12 ribu, sementara pulsa operator lain dijual Rp. 11 ribu.
Melihat kenyataan di atas, sebaiknya operator khususnya XL mempertimbangan kembali kebijakan yang telah diambil. Saya meyakini pada jangka panjang hal tersebut akan merugikan bisnis XL sendiri. Yakinlah, bahwa yang berhadapan setiap hari dengan pelanggan XL adalah pengecer yang jumlahnya lebih dari 750 ribu orang, bukan Deaer yang hanya seratusan orang saja. Sebaiknya operator lebih pro kepada jumlah 750 ribu yang dekat dengan pelanggan, bukan seratus orang yang duduk di gedung bertingkat. Jika konsep clusterisasi memang sangat dibutuhkan, konsep yang diterapkan Indosat sudah cukup memadai, bisa diterima oleh semua pihak.
Pemerintah, khususnya BRTI perlu terlibat dalam penataan distribusi pulsa. Pasalnya distribusi pulsa seluler telah telanjur melibatkan lebih dari 750 pengusaha kecil, yang sebagian besar membutuhkan dukungan Pemerintah. Ketentuan distribusi pulsa tidak boleh semata-mata ditentukan oleh operator, karena operator cenderung berpikir untuk kepentingan mereka saja, sementara bisnis ini berdampal kepada ekonomi 750 ribu keluarga. Pemerintah tidak perlu ragu masuk ke area ini, karena sejak dulu Pemerintah juga meregulasi wartel yang sebenarnya merupakan urusan bisnis Telkom. Saya kira hal ini sah saja, bahkan harus, dengan alasan berdampak luas pada pengusaha kecil yang perlu dukungan Pemerintah

Kamis, 14 Juli 2011

parah

XL parah.. buat para penjual pulsa, siap siap dgn penderitaan akibat pembagian cluster dr XL.
pembelian pulsa hanya bs dilakukan di t4 kartu xl itu berada. pemilik server sudah mulai mengadakan demo dengan tidak menjual produk XL.. mungki Ini awal kehancuran XL.